Sabtu, 31 Oktober 2009

Nama-nama lain Al-Fatihah

Al-Fatihah dinamai Fatihatul-Kitab karena ia merupakan pembuka tulisan Al-Kitab. Dengan surat ini pula bacaan di dalam berbagai shalat dimulai.

Al-Fatihah dinamai Ummul-Kitab dan Ummul-Qur’an karena makna-makna Al-Qur’an merujuk pada makna yang dikandung dalam surat Al-Fatihah. Al-Fatihah pun dinamai As-Sab’ul-Matsani dan Al-Qur’anul-‘Azhim. Dalam sebuah hadits shahih, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam…adalah Ummul-Qur’an, Ummul-Kitab, Sab’ul Matsani, dan Al-Qur’anul-‘Azhim.”

Al-Fatihah pun disebut Al-Hamdu dan shalat karena ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Rabb-nya, “Shalat dibagi dua antara Aku dan hamba-Ku. Apabila hamba-Ku mengatakan, ’Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam,’ maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’” Maka Al-Fatihah dinamai shalat karena ia merupakan rukun dalam shalat.

Al-Fatihah juga dinamai Asy-Syifa’ karena ada keterangan yang diriwayatkan secara marfu’ oleh Ad-Darimi dari Abu Said, “Fatihatul-Kitab merupakan obat segala racun.”

Al-Fatihah dinamai Ar-Ruqyah berdasarkan hadits dari Abu Said Al-Khudri, yaitu tatkala dia menjampi orang yang sehat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dari mana Anda tahu Fatihah merupakan jampi?”

Al-Fatihah juga dinamai Asasul-Qur’an berdasarkan keterangan yang diriwayatkan oleh Asy-Sya’bi dari Ibnu Abbas bahwa dia menamainya Asasul-Qur’an. Ibnu Abbas berkata, “Dasar Al-Fatihah adalah bismillahirrahmanirrahim.”

Sufyan bin Uyainah menamainya dengan Al-Kafiyah (yang mencukupi), “Ummul-Qur’an sebagai pengganti dari selain nama-nama Al-Fatihah. Selain nama-nama Al-Fatihah itu tidak ada lagi nama sebagai penggantinya.”

Keutamaan Al-Fatihah

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemui Ubai bin Ka’ab, namun dia sedang shalat. Rasulullah berkata, ‘Hai Ubai,’ maka Ubai melirik namun tidak menyahut. Nabi berkata, ‘Hai Ubai,’ lalu Ubai mempercepat shalatnya kemudian beranjak menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata, ‘Assalamu’alaika ya Rasulullah.’ Rasulullah menjawab, ‘Wa’alaikassalam hai Ubai. Mengapa kamu tidak menjawab ketika kupanggil?’ Ubai menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang shalat.’ Nabi bersabda, ‘Apakah kamu tidak menemukan dalam ayat yang diwahyukan Allah Ta’ala kepadaku yang menyatakan, ‘Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.’’ Ubai menjawab, ‘Ya Rasulullah, saya menemukan dan saya tidak akan mengulangi hal itu.’ Rasulullah bersabda, ‘Sukakah kamu bila kuajari surat yang tidak diturunkan surat lain yang serupa dengannya di dalam Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Furqan?’ Ubai menjawab, ‘Saya suka wahai Rasulullah.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya aku tidak mau keluar dari pintu ini sebelum aku mengajarkannya.’ Ubai berkata, ‘Kemudian Rasulullah memegang tanganku sambil bercerita kepadaku. Saya memperlambat jalan karena khawatir beliau akan sampai di pintu sebelum menuntaskan pembicaraannya. Ketika kami sudah mendekati pintu, aku berkata, ‘Ya Rasulullah, surat apakah yang engkau janjikan itu?’ Beliau bertanya, ‘Apa yang kamu baca dalam shalat?’ Ubai berkata, ‘Maka aku membacakan Ummul-Qur’an kepada beliau.’ Beliau bersabda, ‘Demi jiwaku dalam genggaman-Nya, Allah tidak menurunkan surat yang setara dengan itu baik dalam Taurat, Injil, Zabur, maupun Al-Furqan. Ia merupakan tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang.’”

At-Tirmidzi meriwayatkan pula hadits tersebut. Menurut riwayatnya, “Sesungguhnya Al-Fatihah itu sebagai tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan sebagai Al-Qur’an yang mulia yang diberikan kepadaku.”

Kita dapati hadits lain tentang keutamaan surat Al-Fatihah. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dan Nasa’I meriwayatkan dalam Sunannya dengan sanad dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (sedang duduk) dan disisinya ada Jibril. Tiba-tiba Jibril mendengar suara dari atas. Maka ia mengarahkan pandangannya ke langit lalu berkata, ‘Inilah pintu langit dibukakan, padahal sebelumnya tidak pernah.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Dari pintu itu turun malaikat. Dia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, ‘Gembirakanlah (umatmu) dengan dua cahaya. Sungguh keduanya diberikan kepadamu dan tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelummu, yaitu Fatihatul-Kitab dan beberapa ayat terakhir surat Al-Baqarah. Tidaklah Anda membaca satu huruf pun darinya melainkan Anda akan diberi (pahalanya).’”

Dalam hadits lain, Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang mendirikan shalat tanpa membaca Ummul-Qur’an, maka shalatnya tidak sempurna.” Beliau mengatakan hal itu tiga kali.

Hukum Membaca Al-Fatihah dalam Shalat

Mengenai hukumnya, terdapat tiga pendapat berikut ini:

Pertama, imam, makmum dan orang yang shalat munfarid (sendirian) wajib membaca Al-Fatihah berdasarkan keumuman hadits mengenai hal ini, “Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Al-Fatihah.” Pendapat ini dipegang oleh Imam Syafi’I rahimahullah.

Kedua, makmum (dalam shalat berjama’ah) tidak wajib sama sekali membaca Al-Qur’an, baik surat Al-Fatihah maupun surat lainnya, baik dalam shalat jahar (bacaan dikeraskan) maupun sir (bacaan tidak dikeraskan). Hal itu berdasarkan keterangan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Jabi bin Abdullah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mendapatkan imam, maka bacaan imam berarti bacaan untuk makmum juga.” Akan tetapi, sanad hadits ini lemah.

Ketiga, dalam shalat sir, makmum wajib membaca Fatihah. Hal itu tidak wajib dalam shalat jahar karena dalam Shahih Muslim ada hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya imam itu dijadikan panutan. Apabila imam takbir, maka bertakbirlah kamu, dan apabila imam membaca (surat), maka simaklah olehmu.” Hadits tersebut menunjukkan ke-shahih-an pendapat ini. Dan pendapat ini merupakan qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafi’i.

Sumber:

Muhammad Nasib Ar-Rifa’i. 2004. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 terjemah Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar